gitar, elektronika, catur, religi dan matematika, politik, seni budaya, dan semua yang ada didunia ini

Sabtu, 03 Oktober 2020

Baik Dimata Manusia, Baik Disisi Alloh ?

     Hal seperti ini dan pertanyaan seperti ini sebenarnya sudah saya pelajari dan saya perdalam sejak lama beberapa tahun yang lalu. Hanya saja baru kali ini saya berkesempatan menulisnya.

Lalu apa sebenarnya definisi ‘baik’ itu secara Hakiki?.

Seorang pencuri misalnya, dia juga dikatakan “baik” dalam habitatnya, kenapa? Ya karena, dengan sesamanya mereka juga saling berinteraksi, saling menolong, saling memberi dan saling melengkapi. Tapi dari sudut pandang religi itu adalah perbuatan dosa dan tercela.

Seorang Kiyai/Ustadz/Ulama adalah manusia paling special, paling baik dan paling menawan dimata manusia. Karena dengan kharisma dan ilmunya mampu bermanfaat  dan berguna bagi orang banyak, tapi apakah itu jaminan baik di sisi Alloh? Jawabannya tentu saja belum tentu.

Alloh memang memberikan ilmu yang banyak baginya, setiap kegundahan manusia akan terjawab dan tercerahkan olehnya, Dengan kharismanya manusia akan mudah percaya dan tadzim kepadanya.

Alloh memberikan lidah yang lentur dan luwes, sehingga setiap ilmu yang ada padanya akan mudah tersampaikan kepada jama’ahnya, walaupun apa yang disampaikannya belum tentu kebenarannya. Manusia pun akan manggut-manggut, karena takut dan takjub, mereka tidak pernah peduli bahwa apa yang disampaikannya itu merupakan “ceramah” atau ‘ghibah’.

‘Yang terpenting saya ingin mendapatkan berkah dan karomah ‘ J.

Yang pada intinya, lidahnya itu bisa memasukkannya ke syurga atau bahkan menyeretnya ke neraka Jahannam. Wallahu a’lam.

            Seseorang yang pernah pernah ke Tanah Suci, baik itu Haji atau Umroh… apakah itu akan menjadi jaminan baginya syurga’? tentu saja jawabannya adalah tidak.

Saya setuju dengan anggapan bahwa, seseorang yang hajinya ‘mabrur maka akan kelihatan dari perilaku sosialnya, dia akan semakin rajin beribadah, senang memberi makanan ke sesamanya, tidak pernah berkata yang tercela dsb, intinya adalah semakin baik kepada sesamanya, dan perilaku yang kelihatan adalah pasti semua baik dimata manusia. Tapi apakah itu arti dari haji yang mabrur, tentu tidak. Wallahu a’lam.

Semua itu bisa direkayasa :D,

Karena takut dan risih dikatakan ‘mabur’ akhirnya memaksakan berbuat baik, entah ini itu ini itu blab la blaa dsb,

Lalu sebenarnya berbuat baik itu yang bagaimana, ya mengalir aja…. Intinya adalah apa kata hati saja, jika ingin bebuat baik ya lakukan saja, jangan pikirkan apa kata manusia.

Tapi memang ujian itu ada 2 macam, nikmat kesenangan dan nikmat kesusahan.

            Seorang Hafidz Al-Qur’an adalah memang orang yang hebat, pilihan Alloh, mempunyai hafalan yang banyak dan kuat. Tapi apakah itu jaminan bahwa dia akan masyuk syurga tanpa hisab, dan syurga paling tinggi?...., tentu jawabannya adalah tidak.

Bahkan, Qur’an bisa menyeretnya ke jahannam, karena dia hafal tapi menyelisihinya atau tidak mengamalkannya. (Mengamalkannya? = plis deh jangan terlalu picik dan lugu mengartikannya, jangan di telan mentah2, lha wong membaca aja pahalanya luar biasa, kalau bisa ya diamalkan, kalau tidak ya semampunya)

Hal ini lah yang paling saya takuti, misalkan saya hebat dalam hal sunnah tapi payah dalam hal fardhu, tapi apakah itu menjadi penghalang kita dalam hal beribadah dan beramal selain fardhu? Tentu tidak. Itu adalah pikiran orang bodoh, ingatlah, amalan sunnah dapat meyempurnakan dan mengganti amalan wajib, bahkan amalan yang kelihatannya remeh dimata manusia tapi besar dan tinggi di sisi Alloh, apa saja. Bahkan amalan yang kelihatannya remeh dan kecil yang kita lakukan, justru itu bisa jadi pertimbangan Alloh memasukkan kita ke syurganya. Karena Alloh mempunyai hak prerogratif. 

Kalau begitu, saya tidak akan menghafal Qur’an, tidak akan pergi Haji, tidak akan menjadi orang baik, tidak akan beramal baik, karena belum tentu di terima. Itu juga pikiran yang kurang tepat… saya akan menjadi orang biasa aja, yang penting tidak berbuat buruk …. Aduhhh pliss dehhh

           Sebuah pisau,

itu tergantung amaliahnya… jika dia digunakan untuk merajang, mengiris dan memotong sayuran kemudian dibagikan kepada orang yang membutuhkan, itu juga merupakan amalan yang pahalanya luar biasa jika dilakukan ikhlas karena Alloh. Jika diberikan kepada orang yang berpuasa, maka pahalanya seolah-olah ‘sama’ dengan orang yang sedang berpuasa tersebut.

Ingat loh, kita bersedekah, atau memberikan makanan kemudian setelah itu agar kita bebas mencelanya, apa ada yang kayak gitu, ya ada.

Sebuah pisau,

Akan menjadi haram jika digunakan untuk sesuatu yang dilarang oleh agama, semisal menusuk, membunuh dan sebagainya.

DAN juga untuk benda-benda yang lain adalah tergantung amaliahnya, itu adalah perkara subhat

            LIDAH mu, itu bisa lebih ‘HARAM’ dari pisau, music, hp, tv, minuman keras, judi, membunuh dan sebgainya, kalau hanya tiap hari di isi dengan SYUUDZON, GHIBAH, FITNAH, NAMIMAH, dan sejenisnya.

Isilah lidahmu dengan kalimat TOYYIBAH,

 

Sampai ketemu di tulisan ku yang berikutnya, yang mencerahkan. HEND
boleh diedit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar